Good habits formed at youth make all the difference-Aristotle



The natural state of motherhood is unselfishness. 
When you become a mother, you are no longer the center of your own universe. 
You relinquish that position to your children.

Semalam gw ngobrol sama Lilu tentang percakapan gw dengan ibu-ibu orang tua murid sewaktu Parent Teacher Conference. Gw bilang,"waktu mamanya si Shasha bilang Shasha itu anaknya senang belajar, makanya ambilnya science A, mathnya angkanya hampir 100, mama bilang aja, Lilu mah mathnya ga bagus, anaknya juga agak males kalau disuruh belajar math".

Lilu ngambek,"thanks mom for saying that". Trus gw bilang bahwa I am so sorry but for your information, there is a reason for me saying that. Karena gw ga mau terlibat urusan mother's rivalry. 

Mother's rivalry...apa sih itu sebenarnya? Bragging about anaknya yang udah jadi pramuka, rajin bantu ibu, juara kelas? Are we talking about our children atau our own achievement? Bukannya sayang anak itu unconditional love? 

Gw masih inget jaman-jaman gw kecil dimana setiap arisan di Jakarta (rumah gw di Bandung), gw selalu deg-degan dan nangis diem-diem di dalam mobil. Karena pulangnya pasti bokap bete dan marah-marah. Tau dong di era itu Jakarta-Bandung masih lewat Puncak, bagus kuping ga copot denger omelan dan cercaan kenapa gw ga sepinter keponakan-keponakan bokap. Harus keluar dari kursus drum karena main band adalah permainan orang brengsek, mendingan jadi maling aja sekalian. Dan pada akhirnya gw tau ini pendapat siapa dan siapa yang ngomporin bokap sampai bikin gw patah hati seperti itu.

Iya, gw memang ga terlalu pinter sewaktu SD. Gw punya masalah super minder karena gw gendut, kacamata tebal (yang harus selalu identik dengan nerd padahal kenyataannya math pas-pasan melulu) dan rambut panjang dikepang 2. Persis kaya Obelix perempuan. Keminderan itu bertambah karena setiap kali nyokap ketemu tante-tante, mereka bahas soal gw being too fat plus,"rangking berapa kemarin?" Nyokap, uncomfortable with confrontation memilih untuk menjawab dengan jawaban politically correct. Which is exactly what I am doing right now. 

Tapi masalah dengan bokap nyokap adalah, mereka ga sadar bahwa walaupun gw anak paling besar, mereka juga punya kewajiban untuk meyakinkan gw bahwa mereka sayang sama gw unconditionally. Bukan mereka sayang sama gw kalau gw being a good girl, with good grades and sanggup menanggung tanggung jawab sebagai anak tertua. I also need to know that I am beautiful in their eyes. That is what I have been missing from my childhood.

Masalah memang mulai berkurang perlahan-lahan sewaktu gw SMP-SMA sejak gw tiba-tiba mengurus dan jauh lebih cantik dan pinter dibanding SD (walaupun tetap kalah cantik dan pinter dibanding teman-teman lainnya, karena gw super tomboy). Tapi terus mereka berkomentar lagi,"kenapa ga jadi dokter aja, kenapa milih masuk hukum?" 

I was a victim of parent rivalry. Itu sebabnya gw memilh untuk shut down percakapan tentang persaingan anak dengan memilih bilang bahwa anak gw tidak sehebat anaknya. Toh setelah itu mereka pulang dan ga inget apa yang dia pernah bilang ke gw. Dan most importantly, ga inget Lilu itu accomplishmentnya apa aja. Apa yang diomongin hanya seperti icing di cake, yang terlalu manis, terlalu berwarna. Unreal.

Yang Lilu perlu tahu adalah she is my sun, my moon, my star, my universe. That I love her unconditionally. Ga perlu pikir omongan tante A dan tante B. Karena omongan mereka ga penting dan buat gw, process and result oriented itu harus berimbang. Ga ada anak yang pinter dan sukses instantly. Semua butuh proses dan waktu. Misalnya, dulu ada tante yang bilang,"ooh anak saya diminta jadi asisten dosen lho, angkanya A- soalnya". Pada kenyataannya, anaknya waktu itu baru semester 2 dan angka A nya hanya satu itu aja. Pernyataan ini disebut-sebut terus setiap arisan dan bahkan terus sampai 10 tahun ke depan. Please deeh, secara ga mungkin anak semester 2 jadi asisten dosen dan yang lebih plis deh lagi, my total GPA was 3,88. Berapa A tuuh tante? Ga ada yang nawarin gw jadi asisten dosen?

Sebenernya siapa sih yang membutuhkan pujian, ibunya apa anaknya? Kita kan bicara prestasi anak, apa prestasi anak otomatis bisa dihaki oleh ibunya? Buat gw, beda. Mungkin balik lagi nanti ke masalah ibu bekerja atau ibu rumah tangga which is totally BS. Semua punya prestasi yang berbeda satu sama lain. In my case, nyokap pernah bilang bahwa even kalau suami gw kaya raya gemah ripah loh jinawi, jangan pernah sampe ga kerja. Kasian orang rumah yang harus deal sama my kebawelan. Jadi buat gw, kerja atau ga it's a matter of choice. Dan in my case, I have to work otherwise we will end up in the street. Hopefully one day things will change dan gw hanya kerja status aja. Cemen, tell me about it, kicking yourself off to get up every morning dengan posisi pendapatan mentok sampai disitu aja? Tetep harus bersyukur masih ada take home pay.

Sekarang, apa gw punya prestasi yang patut dibanggakan? Gw LL.M dari US, been in Harvard Law  School and Boston School of Law, apa itu yang patut dibanggakan? Atau being able to climb up the corp ladder, itu yang patut dibanggakan? Kayanya buat gw itu semua biasa aja, gw hanya beruntung. Berada di tempat dan waktu yang tepat. Gw ga pernah bilang bahwa gw pinter apalagi cantik. Gw ga pernah merasa pinter apalagi cantik. 

Yang paling bikin gw bangga walaupun gw keep di dalam hati adalah anak gw yang mampu to be herself, nyaman dengan dirinya sendiri dan fight untuk masa depannya. Dia fight scoliosisnya, deal sama dokternya, made her own decision. Dan begitu juga untuk masa depannya. Gw yakin, jika tiba waktunya, she will be a very wise woman. Strong will and independent. 


Comments

Popular Posts